MUSI RAWAS-Di era 1990-an Kabupaten Musi Rawas merupakan salah satu daerah lumbung pangan terbesar di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) setelah Belitang.
Seiring perkembangan zaman, berangsur-angsur predikat tersebut bergeser. Bahkan Kabupaten Mura yang memiliki areal persawahan seluas 22.640 hektar ditahun 2020, hanya menempati posisi ke empat sebagai daerah lumbung pangan dibawah Kabupaten Banyuasin, OKU dan Empat Lawang.
Pada 2020 ini saja dari target produksi beras sampai 31 Desember 2020 sebanyak 377.034 ton gabah kering panen (GKP), namun hingga Oktober terealisasi 370.241 GKP atau baru tercapai 75 persen.
Salah satu faktor penyebabnya adalah sebagian besar areal persawahan telah beralih fungsi menjadi kolam ikan hingga ruko. Hal ini cukup beralasan mengingat air irigasi yang ada tidak sampai ke areal persawahan di bagian hilir.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Mura, luas lahan sawah dari tahun ketahun terus mengalami penyusutan. Hal ini berbanding terbalik dengan luas areal perkebunan yang terus mengalami peningkatan.
Bila ditahun 2015, Kabupaten Mura memiliki 30.511 hektar lahan sawah namun ditahun 2019 menyusut menjadi 27.731 hektar. Dimana 13.591 hektar merupakan sawah irigasi dan 11.050 hektar merupakan sawah tadah hujan. Sementara luas areal perkebunan, pada tahun 2015 memiliki areal dikisaran 212.012 hektar ditahun 2019 meningkat menjadi 240.208 hektar.
Untuk mengembalikan Kabupaten Mura sebagai daerah lumbung pangan, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Mura, Hj Ratna Machmud-Hj Suwarti jika terpilih nantinya, akan melakukan revitalisasi pertanian.
Program ini tak hanya sebatas usaha tani saja, tetapi haruslah sistematik dan terintegrasi dengan pengembangan produk yang lain. Sebagai contoh, padi dari sisi hulu diantaranya penyediaan pupuk yang tepat waktu dengan tidak mengabaikan kelestarian lingkungan, penyediaan alat pertanian yang dapat menekan biaya pengolahan tanah, sehingga dapat menyediakan produk dengan harga bersaing, dan mampu dijangkau konsumen.
Sementara dari sisi hilir adalah menyediakan produk yang di”grade” baik dengan standard sesuai segmen pasar.
“Perkebunan, dari sisi hulu, saya kira sudah dilaksanakan dengan penyediaan bibit yang bersertifikat dan produktivitas tinggi, tetapi belum merata kelapisan bawah,” tandasnya.
Lebih lanjut Ratna memaparkan perlu dilakukan integrasi horizontal, dengan integrasi ternak dan ikan di wilayah perkebunan, dan penanaman sayur dan buah di wilayah perkebunan. Sedangkan hilirisasi, perlu kemitraan yang memberikan manfaat yang seimbang.
“Khusus untuk karet, perlu diperluas penggunaan produk selain latek (dak usah jauh-jauh, di Unmura biji karet sudah ada teknologi yang dapat mengolahnya jadi tempe, dan kudapan lainnya, serta bahan bakar kompor rumah tangga),” tambahnya.
Dilain sisi untuk segi pemasaran, pemerintah harus menghadirkan pasar lelang karet yang menguntungkan dengan karet berkualitas, dan khusus untuk IKM, pemerintah harus hadir dengan penyediaan aplikasi pasar on-line yang bisa diakses oleh IKM dan perusahaan skala menengah.
“Sektor hulu yang mendapatkan perhatian kami (Ramah Berarti) untuk mengatasi keterbatasan pembukaan dan pengolahan lahan, maka setiap kecamatan akan ada alat berat yang dapat melayani dan memfasilitasi petani dalam pengembangan skala usaha. Ramah berarti tidak mau mendengar keluh kesah petani dalam perluasan usaha perkebunan, karena terhambat larangan membakar yang mengganggu lingkungan dan kesehatan,” jelasnya.
Dilain pihak untuk membumikan program agropolitan di Mura yang terhenti pada lima tahun terakhir, maka Ramah-Berarti akan menjadikan Agropolitan Center dan Agropolitan Distrik sebagai pusat pasar petani dengan kegiatan promosi agribisnis, dan hilirisasi produk dengan standard yang diminta konsumen, dan mensinergikan BUMD, koperasi yang mampu mengembangkan usaha riel, dan di setiap desa harus ada BUMDES.
“Semua program petani merupakan wujud dari Ramah Berarti dalam program memakmurkan petani,” pungkasnya. (*)