SUMSEL SK-Project eksplorasi seismik 3D Chrysant PT. Pertamina yang dikerjakan oleh kontraktor PT. Bureau Geophysical Prospecting (PT.BGP) di Kabupaten Pali, Muara Enim dan Kota Prabumulih masih menuai kontra. Pembayaran kompensasi lahan yang di duga tidak sesuai dengan kesepakatan.
Selain pembayaran kompensasi lahan yang di duga tidak sesuai dengan kesepakatan, pengerjaan proyek dengan getaran alat dan blasting juga berdampak terhadap rumah warga sekitar.
Sengkarut permasalahan kompensasi dialami oleh keluarga Calik, warga Tanjung Raman Prabumulih. Kesepakatan kompensasi yang akan dibayarkan BGP sesuai surat kesepakatan akan dilebihkan sebesar 50% dari nilai kompensasi, ternyata tidak direalisasikan oleh BGP.
“Mereka memilah-milah kompensasi yang dibayarkan, jika tidak ada protes, maka mereka membayar tidak sesuai kesepakatan, tapi jika kita menolak kompensasi yang tidak sesuai, maka mereka baru membayar sesuai kesepakatan. Itu untuk kompensasi terhadap lahan, keluarga kami jadi seperti mengemis untuk mendapatkan hak kompensasi, kalau bakal seperti ini lebih baik kami tolak mereka melakukan pengeboran di lahan keluarga kami”,sampai warga yang diduga di curangi,calik.
Saat ini kami juga sedang mengupayakan penggantian terhadap kerusakan rumah akibat proyek seismik, ini juga masih tarik ulur belum tahu seperti apa mereka akan membayarkan kompensasi rumah retak, dari beberapa warga yang menerima penggantian, banyak yang tidak sesuai dengan kerugian yang diterima pemilik rumah,” ungkap Calik.
Calik menuturkan bahwa mereka akan melakukan aksi untuk menuntut PT.BGP agar segera mengganti untung lahan yang memang sudah ada kesepakatan sebelumnya dengan pihak perusahaan.
“Surat kesepakatannya ada, dan ditandatangani langsung oleh Humas BGP bernama Jumadi,”kata dia.
Menurut Calik, tuntutan ini dilakukan lantaran pihak PT BGP terkesan selalu mengulur-ulur waktu dan tidak konsisten dalam menepati janji yang sudah disepakati.
“Kita sudah sering menanyakan hal ini dengan pihak PT BGP, namun mereka selalu menjawab berbelat belit dan bertele tele sehingga kami merasa selama ini kami hanya diberi janji-janji saja,” tegas dia.
Terpisah, PT.BGP sendiri menurut R Toni Siahaan selaku Ketua Dewan Pembina Perkumpulan Anak Bangsa Sumatera Selatan (PAB-SS) berfungsi lebih banyak di kehumasan. Untuk pengerjaan seperti topografi, rintisan, bentang kabel, peledakan/blasting dan perekaman/recording dilakukan oleh sub kontraktor dari Jakarta. BGP lebih banyak berperan di kehumasan, seperti sosialisasi dan pendataan rumah warga yang terkena proyek seismik tersebut.
Adanya kekisruhan dalam proyek seismik tersebut tentunya merupakan tanggung jawab fungsi kehumasan yang buruk di BGP, lebih kepada project oriented, pengeluaran pada hal yang sebenarnya tidak perlu dan justru mengesampingkan hak-hak warga terhadap kesepakatan kompensasi.
Dalam sosialisasi pun, BGP hanya sekedar menuntaskan kewajiban terhadap telah dilaksanakannya sosialisasi secara seremonial, tanpa mereka pahami bahwa target sosialisasi adalah mengerti dan menerimanya si pemilik lahan dan warga yang rumahnya akan terdampak dari kegiatan seismik tersebut. Jadi, dalam pantauan kami masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui jika lahannya terkena kegiatan seismik, dan akibatnya seperti sekarang ini banyak warga yang tidak puas terhadap nilai kompensasi,” terang Toni.
Lanjut, menurut Alumni Unsri ini wajar saja jika carut marut dalam kehumasan di BGP tersebut banyak menimbulkan masalah dilapangan, terlebih terkait kompensasi yang diterima warga sangat tidak sesuai dengan dampak yang dihasilkan dari kegiatan seismik tersebut.
Karena mereka mengacu pada Peraturan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 40 Tahun 2017 tentang Pedoman Tarif Nilai Ganti Kerugian Atas Tanah dan Pembebasan Tanam Tumbuh, dan Bangunan Diatasnya, Akibat Operasi Eksplorasi dan/atau Eksploitasi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Perusahaan Swasta Lainnya, maka seperti penggantian lubang bor seismik warga pemilik lahan hanya dikompensasi sebesar Rp50.000,- per satu lubang, sedangkan dampak dari penggalian sumur bor tersebut luapan lumpur menggenangi lahan warga.
Karena mereka (BGP) selalu berlandaskan Pergub 40 tahun 2017 saja, tanpa adanya negosiasi dengan masyarakat, akibatnya masyarakat memandang bahwa kegiatan seismik tersebut banyaklah merugikan masyarakat,” tegas Toni.
Aktivis 98 dari FMKR ini juga menuturkan bahwa Project Seismik Pertamina itu merupakan project yang menggelontorkan biaya sangat besar, sudah sepatutnya alokasi kompensasi untuk masyarakat harus menjadi prioritas utama. Jangan sampai proyek besar ini malah menjadi upaya untuk memberikan keuntungan satu pihak saja.
“Kita akan pelajari apakah terhadap masalah ini dapat diduga terjadi pelanggaran terhadap UU Tindak Pidana Korupsi berupa Perbuatan Curang sebagaimana Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h”,utaranya.
Menurut kami sudah sepatutnya juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terkait proyek yang memakan dana besar dan terkait masyarakat terdampak ini, karena fakta dilapangan berdasarkan aduan yang kami terima dari masyarakat yang terdampak proyek seismik tersebut, masyarakat tidak mendapatkan kompensasi sesuai kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, ujarnya.
Pria yang juga menjabat sebagai Deputi K-MAKI (Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Independen) ini juga mengharapkan agar Kepala Daerah yang masuk dalam proyek seismik tersebut untuk tidak mengeluarkan surat pernyataan atau berita acara telah selesainya pengerjaan seismik di wilayahnya, karena masih banyak permasalahan terkait proyek seismik tersebut yang belum tuntas diselesaikan oleh BGP selaku kontraktor seismik Pertamina.
Tony menganggap, perlu kiranya Bupati Pali, Pj Bupati Muara Enim dan Walikota Prabumulih meninjau langsung ke lapangan. Apakah masyarakat nya sudah menerima kompensasi sebagaimana yang diharapkan atau masih menolak menerima kompensasi. Sehingga mendapatkan informasi langsung dari masyarakatnya yang terdampak, sebelum mengeluarkan surat telah selesainya proyek seismik.
“Disinilah sejatinya publik akan melihat dan menilai keberpihakan dan kepedulian kepala daerah yang mereka pilih,” tutupnya.