CARUT marut kepastian ganti rugi kerusakan rumah akibat pekerjaan Seismik 3D Chrysant PT. Pertamina yang dikerjakan kontraktor PT. Bureau Geophysical Prospecting (PT BGP) di Kabupaten Pali, Muara Enim dan Kota Prabumulih masih menuai persoalan.
Perwakilan Ketua RT dan RW di Kelurahan Anak Petai Kota Prabumulih melayangkan surat kepada PT. Pertamina dan PT. BGP perihal kepastian penilaian dan realisasi ganti rugi kerusakan rumah warganya.
Dalam surat tersebut, 9 (sembilan) Ketua RT dan 3 (tiga) Ketua RW meminta agar ganti rugi kerusakan rumah warga yang terdampak tersebut dilakukan dengan mengutamakan prinsip-prinsip yang berkeadilan dan pemufakatan kedua belah pihak, karena Kami khawatir jika ketidak sesuaian nilai kerusakan akan tetap diberikan kepada warga Kami, dapat memicu gejolak sosial yang tidak Kami inginkan.
“Surat itu kami buat berdasarkan kesepakatan kami dalam rapat di Kelurahan Anak Petai pada hari Rabu (16/2/2022). Kami masih secara beretika untuk mengirimkan surat kepada BGP dan Pertamina, jika tidak ada tanggapannya terhadap surat kami tersebut, maka kami anggap BGP dan Pertamina sudah tidak ada itikad baik untuk menyelesaikan ganti rugi kerusakan rumah-rumah warga kami,” terang Romli, Ketua RT.03 RW. 02 Kelurahan Anak Petai kepada Tim Advokasi Perkumpulan Anak Bangsa Sumatera Selatan (PAB-Sumsel), Jumat (18/02/2022).
Tim Advokasi PAB-Sumsel juga menerima pengaduan dari Indra Gunadi, warga Sukaraja Kecamatan Prabumulih Selatan. Sebagaimana dituturkan Indra, bahwa dirinya mempertanyakan ganti rugi terhadap lahannya yang dilewati bentangan kabel seismik.
“Saya tidak dapat undangan untuk penyerahan uang ganti rugi tersebut, tetapi saya dapat informasi bahwa Amplop uang untuk kompensasi lahan saya itu bernomor 128. Jadi belum jelas siapa yang menerimanya. Saya juga sudah kirim WA kepada Koordinator Humas BGP bernama Jumadi, tapi WA saya hanya dibaca oleh Jumadi saja, tidak ada balasan. Saya telepon pun tidak diangkat,” tutur Indra sambil memperlihatkan bukti chating WA-nya. Kompensasi lahan Indra hanya sebesar Rp1juta-an, dan nilai tersebut tidak dipermasalahkan Indra, hanya dirinya mengaku belum menerima pembayarannya, sedangkan warga lain sudah menerima.
Menurut Mingwan, salah satu Tim Advokasi PAB-Sumsel, bahwa manuver janji-janji BGP kepada warga kini menuai malapetaka. BGP sebagai penangungjawab proyek seismik 3D Chrysant tidak memiliki kompetensi kehumasan yang mumpuni. “Mereka (BGP) dalam kehumasannya menemui warga untuk menyepakati lahannya dilalui kabel bahkan di bor untuk dimasukkan peledak. Cara mereka biasanya disepakati dulu, urusan nilai ganti ruginya belakangan, sehingga nilai ganti rugi pun beragam. Seperti informasi di Kelurahan Muara Dua Kecamatan Prabumulih Timur, 1 (satu) lubang bor warga dibayar Rp2juta dan bentang kabel nya sebesar Rp25Ribu per meter,” tutur Mingwan.
Padahal jika mengacu Pergub Sumsel Nomor 40 tahun 2017 tentang Pedoman Tarif Nilai Ganti Kerugian Atas Pemakaian Tanah dan Pembebasan Tanam Tumbuh, dan Bangunan Diatasnya, Akibat Operasi Eksplorasi dan/atau Eksploitasi Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan Perusahaan Swasta Lainnya untuk 1 lubang bor kompensasinya sebesar Rp50ribu dan bentang kabel sebesar Rp5ribu per meter.
“Ternyata mereka (BGP) bisa merealisasikan kompensasi lebih dari Pergub, kenapa yang lain harus dibedakan dengan alasan mengacu pada Pergun. Inilah yang menimbulkan kecemburuan dan gejolak warga pemilik lahan di Desa/Kelurahan lain,” jelas pria yang juga merupakan tokoh pemuda di Prabumulih ini.
Lanjut Mingwan, koordinasi antar sesama humas di BGP pun tidak bagus. Humas lama yang sudah memiliki komitmen kesepakatan dengan warga, dikemudian hari digantikan oleh humas lain, maka humas yang baru tersebut menganulir kesepakatan-kesepakatan yang sudah dibuat oleh humas lama. “Hal ini menjadikan pertanyaan, apakah humas-humas itu selaku perwakilan perusahaan (BGP) atau sendiri-sendiri. Ya semestinya bahwa apa yang sudah disepakati oleh humas lama itu adalah bentuk kesepakatan perusahaan, dan pastinya sudah berkoordinasi dengan manajemen BGP dan Pertamina,” ujar Alumni Pertanian Unsri ini.
Terpisah, menyikapi polemik BGP tersebut, Ketua Dewan Pembina PAB-Sumsel R Toni Siahaan menegaskan bahwa BGP tidak boleh hengkang dahulu dari Prabumulih sebelum seluruh ganti rugi terselesaikan di wliayah proyek seismik nya. Bahkan menurutnya, Pertamina harus mengambil alih masalah ini jika masih kisruh berlarut-larut.
“Pertamina turun langsung saja menyelesaikan masalah ini, toh yang melakukan pembayaran ganti rugi itu Pertamina juga kan, bukan BGP. Kita juga akan pelajari apakah terhadap masalah ini dapat diduga terjadi pelanggaran terhadap UU Tindak Pidana Korupsi berupa Perbuatan Curang sebagaimana Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 7 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, Pasal 7 ayat (2), dan Pasal 12 huruf h. Sudah sepatutnya juga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit investigasi terkait proyek yang memakan dana besar dan terkait masyarakat terdampak ini, karena fakta dilapangan berdasarkan aduan yang kami terima dari masyarakat yang terdampak proyek seismik tersebut, masyarakat tidak mendapatkan kompensasi sesuai kesepakatan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak,” Aktivis ’98 FMKR ini.
Toni juga meminta agar Kepala Daerah yang masuk dalam proyek seismik tersebut untuk jangan mengeluarkan surat telah selesainya pengerjaan seismik di wilayahnya, karena masih banyak permasalahan terkait proyek seismik tersebut yang belum tuntas diselesaikan oleh BGP selaku kontraktor seismik Pertamina.
“Bupati Pali, Pj Bupati Muara Enim dan Walikota Prabumulih hendaknya meninjau langsung ke lapangan. Apakah masyarakat nya sudah menerima kompensasi sebagaimana yang diharapkan atau masih menolak menerima kompensasi. Sehingga mendapatkan informasi langsung dari masyarakatnya yang terdampak, sebelum mengeluarkan surat telah selesainya proyek seismik,’” pungkasnya.