PRABUMULIH SK – Polemik pasca kegiatan Eksplorasi Seismik 3D Chriysant Pertamina yang dikerjakan oleh kontraktor seismik PT. Bureau Geophysical Prospecting (BGP) di sejumlah wilayah kota Prabumulih kembali mengemuka.
Setelah sebelumnya 9 Ketua RT dan 3 Ketua RW di Kelurahan Anak Petai Kota Prabumulih melayangkan surat kepada PT. Pertamina dan PT. BGP perihal kepastian penilaian dan realisasi ganti rugi kerusakan rumah warganya, dan juga pengaduan dari Indra Gunadi, warga Sukaraja Kecamatan Prabumulih Selatan menuntut ganti rugi lahannya yang belum diterima meskipun uang untuk kompensasi lahannya dengan nomor Amplop 128 itu sudah termasuk dalam daftar pembayaran, kini Tim Advokasi Perkumpulan Anak Bangsa Sumatera Selatan (PAB-Sumsel) kembali menerima pengaduan dari masyarakat Patih Galung dan Anak Petai.
Dedy Hidayat, salah satu warga dari Kelurahan Anak Petai belum menerima ganti rugi terhadap lahannya yang dipergunakan untuk eksplorasi seismik BGP. “Dulu waktu humas BGP minta ijin untuk melintasi lahan saya, saya ingat sekali kalau Pak Tupang waktu itu sebagai tim humas BGP menjanjikan bahwa untuk kompensasi lahannya bisa dinegosiasikan, tidak mutlak mengacu pada Pergub Sumsel Nomor 40 tahun 2017. Yo kami ijinkanlah mereka (BGP) untuk melintasi dan bor lahan kami. Bahkan saat PC (Party Chip) nya waktu itu Pak Gun Gun, Asisten PC Nawang dan Humasnya Jumadi, kami hitung keseluruhan saja untuk bor sebanyak 136 lubang dengan nilai per lubang sebesar Rp5juta, untuk bentang kabelnya dan tanam tumbuh tidak usah diganti rugi, dan itu di acc mereka. Ternyata setelah Pak Gun Gun ditarik ke Jakarta dan digantikan yang lain, mereka (BGP) menganulir kesepakatan tersebut, dan mendatangi keluarga kami satu persatu untuk di ganti rugi. Macam-macam nilai kompensasinya, ada yang 14 lubang dibayar Rp20Juta, ada 10 lubang dibayar Rp18Juta, hingga tersisa lubang bor kami yang belum dibayarkan sebanyak 80 lubang,” tutur Dedy.
Negosiasi terakhir lanjut Dedy, BGP minta agar nilai ganti rugi lubang bor dikurangi menjadi Rp2,5Juta per lubang, dan bentang kabel dihitung Rp25ribu. “Karena total panjang bentang kabel kami itu lebih dari 5ribu meter, maka kami menerima. Tapi ini kemudian menjadi berubah lagi, katanya mereka harus mengacu pergub. Itu kami ketahui dari adanya surat manajemen BGP No.801/PTM-BGP/Chrysant/II/2022 yang isinya bahwa BGP bersedia merealisasikan pembayaran kompensasi lahan sesuai dengan data komplain dan mengacu pada nilai Pergub No.40 tahun 2017. Saya menduga ini ada permainan di BGP, kalau berlarut-larut maka saya akan berikan kuasa untuk menuntut BGP di Jakarta,” kata Dedy dengan raut wajah geram.
Senada dengan Dedy, Roby Asmar warga Patih Galung juga mempertanyakan realisasi ganti rugi lahannya. Pria yang akrab dipanggil Semar ini menceritakan bahwa awalnya BGP ijin untuk eksplorasi di lahannya. Janji untuk kompensasi pun disepakati sebesar Rp143juta. “Waktu itu Tupang yang mendatangi saya, dan menegosiasikan nilai kompensasi tersebut, saya ada catatannya, totalnya Rp143Juta. Selanjutnya karena Tupang tidak lagi terlibat, sekitar bulan Nopember 2021 dilakukan negosiasi kembali oleh BGP, waktu itu oleh Hendro atas perintah Nawang, nilai yang diberikan dalam catatan mereka (BGP) yang diserahkan ke saya sebesar Rp82.850.000,- dan saya sepakati sajalah daripada bertele-tele, dan itu informasinya sudah di acc oleh Nawang, tapi hingga saat ini belum ada realisasi dari BGP,” kata Semar.
Beberapa warga akhirnya menemui Wakil Ketua DPRD Kota Prabumulih, Ir Dipe Anom dikediamannya, selasa (22/2/2022) untuk meminta bantuan terkait permasalahan ganti rugi lahan yang belum jelas realisasinya tersebut. Anom menjelaskan sebagaimana yang pernah dia sampaikan kepada warga dan juga media beberapa waktu lalu, bahwa pernah ada dilakukan pertemuan koordinasi antara masyarakat, Pertamina dan BGP bersama Komisi III DPRD Kota Prabumulih pada Rabu 20 Januari 2021. Dalam pertemuan yang sudah lebih dari setahun itu tersebut, pihak perusahaan (BGP) akan berkomitmen untuk memenuhi permintaan masyarakat terkait kompensasi pekerjaan proyek seismik. “Tapi hasil dari mediasi di DPRD tidak dipatuhi oleh mereka (BGP) sendiri, akhirnya seperti sekarang ini, kedatangan kalian (warga) berkeluh kesah dan meminta bantuan karena realisasi ganti rugi belum juga jelas, bahkan nilai ganti rugi nya pun berubah-rubah dan berbeda-beda. Ini menjadi pembelajaran bersama, bahwasanya komitmen apapun itu jika melibatkan perusahaan harus secara jelas tertulis dan ditandatangani oleh pihak perusahaan yang berwenang berikut saksi-saksinya,” terang pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Prabumulih ini.
Menindaklanjuti hal ini lanjut Anom, dirinya dan kawan-kawan DPRD Kota Prabumulih akan berupaya membantu semampu mungkin dalam kapasitas kewenangan yang diembannya. “Kami mungkin akan mengingatkan Walikota Prabumulih agar beliau tidak atau jangan dulu memberikan surat kepada Pertamina ataupun BGP terkait telah selesainya pekerjaan seismik tersebut, sebelum tuntutan ganti rugi kepada masyarakat terhadap lahan dan kerusakan rumah ataupun pekarangan masyarakat sudah dibayarkan langsung oleh Pertamina atau BGP. Karena, sebagaimana yang tertuang dalam surat Walikota Prabumulih tertanggal 7 Juli 2020 perihal Dukungan Kegiatan Survey Seismik di Wilayah Kota Prabumulih, ada tertulis Selanjutnya apabila kegiatan tersebut berdampak terhadap kerusakan lingkungan dan bangunan disekitarnya, selama kurun waktu 1 (satu) tahun menjadi tanggungjawab PT. Pertamina. Artinya merujuk surat tersebut permasalahan terkait dampak dan kerugian warga harus diselesaikan dulu oleh BGP atau Pertamina, dan kami akan mengingatkan Bapak Walikota agar kekisruhan ini dapat dimediasi dan menghasilkan solusi yang baik,” terangnya.
Terpisah, Koordinator Tim Advokasi PAB-Sumsel Mingwan,S.TP menjelaskan, bahwa dari hasil temuan dilapangan dan pengaduan warga diperoleh informasi adanya pembayaran kompensasi yang berbeda-beda, artinya pembayaran dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan si pemilik lahan, tidak lagi berdasar pada Pergub No.40 tahun 2017. “Ya tinggal diteruskan saja proses ganti rugi berdasar pada kesepakatan dengan warga, jangan malah timbul adanya dugaan fraud atau adanya dugaan penipuan secara hukum dengan kesalahan penyajian fakta yang di sengaja. Jangan ada pembedaan perlakuan karena case nya kan sama, terkait kompensasi lahan ataupun kerusakan rumah,” kata Tokoh Pemuda Prabumulih ini.
Alumni Unsri ini juga menjelaskan bahwa yang dilakukan dirinya dan kawan-kawan ini bukan untuk memperkeruh situasi ataupun memprovokasi warga untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. Solidaritas ini dilakukan sebagai wujud kepedulian terhadap masyarakat di Kota Prabumulih yang sedang menghadapi masalah dengan BGP. “Akar masalahnya kan tidak adanya komitmen BGP dalam merealisasikan janji-janji yang sudah disepakati terkait ganti rugi. Warga sudah kadung sabar menunggu, dan BGP saat ini terkesan angkuh menghadapi warga, bahkan kerap menghindar. Jadi sebenarnya yang memprovokasi warga itu siapa? BGP atau kami? Sebab musabab apa sehingga warga berduyun-duyun mendatangi kantor BGP atau mendatangi pertemuan yang telah direncanakan, bahkan sampai ada pertemuan yang tidak dihadiri perwakilan dari BGP. Sebabnya karena diduga BGP telah ingkar janji, ingkar terhadap kesepakatan yang sudah disepakati, dan sekarang mereka (BGP) akan melakukan upaya untuk mengulur-ulur masalah. Jadi, kami menilainya BGP terkesan seperti perusahaan yang tidak mampu me-manage suatu proyek yang berskala dan berbiaya besar. Manajerial itu bukan hanya aspek teknis, tapi aspek non teknis juga sama pentingnya, gejolak sosial dimasyarakat itu harusnya jadi prioritas untuk diselesaikan. Kedepannya Pertamina harus menggunakan perusahaan rekanan dengan kualifikasi khusus bidang komunikasi massa yang mumpuni untuk proyek yang berkaitan erat dengan masyarakat. Tidak usah lagi Pertamina menggunakan perusahaan seperti BGP,” pungkasnya.